Hak Cipta dalam
Kerangka Persaingan Pasar
Keberadaan hak cipta sebagai hak ekslusif bagi para penciptanya harus dapat dihormati dan dihargai. Penemuan baru oleh peneliti atau pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia membutuhkan waktu lama dan biaya besar sehingga wajar hasil cipta tersebut harus dilindungi. Hasil ciptaan tersebut bahkan dapat digunakan untuk tujuan komersial dalam kegiatan bisnis yang amat menguntungkan.
Keberadaan hak cipta sebagai hak ekslusif bagi para penciptanya harus dapat dihormati dan dihargai. Penemuan baru oleh peneliti atau pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia membutuhkan waktu lama dan biaya besar sehingga wajar hasil cipta tersebut harus dilindungi. Hasil ciptaan tersebut bahkan dapat digunakan untuk tujuan komersial dalam kegiatan bisnis yang amat menguntungkan.
John Naisbitt dan Patricia Aburdene
telah meramalkan bahwa suatu saat nanti dunia yang dihuni manusia ini akan
berubah menjadi suatu perkampungan global (global village) dengan pola satu
sistem perekonomian atau single economy system berdasarkan permintaan/mekanisme
pasar dan persaingan bebas. Mereka yang mampu survive adalah orang atau para
pengusaha yang dapat menghasilkan “produk” dengan kualitas tinggi dan harga
bersaing. Artinya, manusia yang berkualitas dalam era ini adalah mereka yang
dianggap memiliki produk dengan “nilai jual” yang dapat diandalkan pada
persaingan global, baik di pasar nasional, regional maupun internasional dengan
berlakunya pasar bebas (free market) dalam perdagangan internasional.
Berkaitan dengan era pasar bebas dengan
perdagangan barang dan atau jasa, bermula pada 15 April 1994 dengan tercapainya
kesepakatan internasional di Maroko melalui Agreement on Establishing the World
Trade Organization (WTO) yang dikenal sebagai Marrakesh Agreement. Adanya
kesepakatan yang akhirnya melahirkan organisasi perdagangan dunia (WTO) ini,
maka produk dari setiap orang atau negara diatur melalui mekanisme pasar yang
mengutamakan kualitas barang dan atau jasa. Produk tersebut biasanya dilindungi
hukum sebagai hasil rasa, karsa dan cipta manusia yang tidak bisa begitu saja
untuk dilanggar. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional ikut
menandatangani kesepakatan ter-sebut melalui UU No. 7 Tahun 1994 (LN Tahun 1994
No. 95 TLN No. 3564) tanggal 2 Nopember 1994 yang berlaku sebagai ius
constitutum dalam konstelasi hukum nasional yang mempunyai dampak luas pada
bidang lain.
Konsekuensinya, semua kesepakatan itu
harus ditaati dan diterapkan dengan konsisten. Salah satu agenda penting dari
WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
Including Trade in Counterfeit Goods. Kesepakatan ini akhirnya melahirkan TRIPs
(Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang bertujuan untuk
meningkatkan perlindungan di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari
pembajakan atas suatu karya kreatif dan inovatif seseorang/kelompok orang, baik
di bidang sastra, seni, teknologi dan karya ilmiah. Suatu hal yang cukup
kompleks dan perlu dilakukan upaya adaptasi (penyesuai-an) terus menerus untuk
dapat mengikuti dinamika perkembangan dengan perangkat hukum yang mengatur
masalah baru tersebut karena sebelumnya justru tidak diatur dalam ketentuan
hukum nasional. Kevakuman ini harus ditutupi dengan adanya aturan undang-undang
sebagai kepastian hukum untuk mengikuti perkembangan iptek dan masyarakat
internasional.
Salah satu bidang HKI adalah hak cipta
(copy rights) yang merupakan hak ekslusif (khusus) bagi pencipta atau penerima
hak untuk mengumum-kan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk
itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 LTU No. 19 Tahun 2002). Ciptaan
merupakan hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas apapun juga dalam
lapangan ilmu, seni dan sastra yang menguntungkan dari segi materil, moril dan
reputasi seseorang atau kelompok orang yang menghasil-kan ciptaan berdasarkan
kerja keras melalui pengamatan, kajian dan penelitian secara terus menerus.
Sudah sewajarnya, hasil ciptaan orang lain harus dapat dilindungi hukum dari
setiap bentuk pelanggaran hak cipta. la sebenarnya merupakan suatu perbuatan
tidak terpuji dan tercela bahkan tidak “bermoral” oleh orang-orang tidak
bertanggungjawab yang melakukannya, karena adanya”the morality that makes law
possible.”
Pada kondisi ini, sudah pasti tidak
dapat dihindarkan adanya kecen-derungan sebagian orang/kelompok orang yang
menginginkan dengan berbagai cara untuk meneguk keuntungan finansial secara cepat
tanpa usaha keras, mengeluarkan modal dan kejujuran dengan membajak hasil
ciptaan orang lain ataupun mendompleng reputasi ciptaan pihak lain sehingga
amat merugikan bagi para pencipta pertama. Tindakan ini sudah tentu tidak dapat
dibenarkan, karena melanggar hukum sebab bukan hanya para pencipta yang sah
saja merasa dirugikan, akan tetapi juga masyarakat luas mengalami kerugian
besar karena memperoleh barang dan atau jasa tidak sesuai kualitas yang
diharapkan. Keadaan ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadi degradasi
moral dan etika dalam kehidupan masyarakat yang tidak mau menghargai kreasi
intelektual pihak lain yang telah bersusah payah melahirkan ciptaannya.
Dalam pergaulan masyarakat
internasional, negara-negara yang memproteksi atau membiarkan pelanggaran hak
cipta tanpa adanya penindakan hukum dapat dimasukkan dalam priority watch list,
karena tidak memberikan perlindungan HKI secara memadai bagi negara atau
pemilik/pemegang izin ciptaan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa
pengucilan dalam pergaulan masyarakat internasional atau sanksi ekonomi dari
produk negara itu pada transaksi bisnis internasional.
UU No. 19 Tahun 2002 yang berlaku efektif pada tanggal 23 Juli 2003 sebagai pengganti UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan UU No. 12 Tahun 1997 diharapkan sekali menjadi a new legal framework atau perangkat hukum baru untuk mengantisipasi merebaknya pelanggaran hak cipta di tanah air oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara “bypass” atau “potong kompas” (cepat) dengan cara tercela melanggar hukum atas hak-hak orang lain. Keadaan demikian tentu akan menimbulkan masalah terhadap upaya perlindungan hukum atas pelanggaran hak cipta mengingat tidak semua orang dapat memahami-nya dengan baik.
UU No. 19 Tahun 2002 yang berlaku efektif pada tanggal 23 Juli 2003 sebagai pengganti UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan UU No. 12 Tahun 1997 diharapkan sekali menjadi a new legal framework atau perangkat hukum baru untuk mengantisipasi merebaknya pelanggaran hak cipta di tanah air oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara “bypass” atau “potong kompas” (cepat) dengan cara tercela melanggar hukum atas hak-hak orang lain. Keadaan demikian tentu akan menimbulkan masalah terhadap upaya perlindungan hukum atas pelanggaran hak cipta mengingat tidak semua orang dapat memahami-nya dengan baik.
Perkembangan dan Pembatasan Hak Cipta
Keberadaan copyright atau hak cipta semenjak tahun 1886 telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak ekslusif para pencipta. Sebagai salah satu bentuk karya intelektual yang dilindungi dalam HKI, hak cipta memiliki peran amat penting dalam rangka mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta teknologi untuk mempercepat upaya pertumbuhan pembangunan dan kecerdasan kehidupan suatu bangsa. Keadaan ini amat disadari oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004 pada kegiatan pembangunan pendidikan, khususnya program penelitian, peningkatan kapasitas dan pengembangan kemampuan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suatu ciptaan dapat memberi nilai ekonomis bagi para pencipta dan pemegang izin melalui kegiatan ekonomi, yakni penjualannya ke pasar. Upaya menghasilkan suatu ciptaan membutuhkan proses waktu, nspirasi, pemikiran dana dan kerja keras sehingga wajar hasil karya para pencipta itu harus dilindungi dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta yang sangat merugikan para pencipta. Sebaliknya, dalam batas-batas tertentu pada ketentuan undang-undang hak cipta, hasil ciptaan seseorang dapat dibenarkan diambil orang lain dengan izin atau tanpa izin pemilik yang bersangkutan tanpa perlu takut dikategorikan sebagai pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Keberadaan copyright atau hak cipta semenjak tahun 1886 telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak ekslusif para pencipta. Sebagai salah satu bentuk karya intelektual yang dilindungi dalam HKI, hak cipta memiliki peran amat penting dalam rangka mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta teknologi untuk mempercepat upaya pertumbuhan pembangunan dan kecerdasan kehidupan suatu bangsa. Keadaan ini amat disadari oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004 pada kegiatan pembangunan pendidikan, khususnya program penelitian, peningkatan kapasitas dan pengembangan kemampuan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suatu ciptaan dapat memberi nilai ekonomis bagi para pencipta dan pemegang izin melalui kegiatan ekonomi, yakni penjualannya ke pasar. Upaya menghasilkan suatu ciptaan membutuhkan proses waktu, nspirasi, pemikiran dana dan kerja keras sehingga wajar hasil karya para pencipta itu harus dilindungi dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta yang sangat merugikan para pencipta. Sebaliknya, dalam batas-batas tertentu pada ketentuan undang-undang hak cipta, hasil ciptaan seseorang dapat dibenarkan diambil orang lain dengan izin atau tanpa izin pemilik yang bersangkutan tanpa perlu takut dikategorikan sebagai pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Standar perlindungan atas HKI yang
diterapkan dalam perjanjian adalah standar perlindungan minimal yang telah
tertuang dalam perjanjian yang sudah ada sebelumnya yang dikembangkan pada
perjanjian dan konvensi dalam naungan World Intellectual Property Organization
(WIP0). Perlindungan terhadap hak cipta adalah berdasarkan pada kesepakatan The
Beme Convention for the Protection of Literary and Artistic Works tanggal 9
September 1886 di Bern, Swiss.
Pemerintah Belanda yang menjajah
Indonesia pada tanggal 1 November 1912 memberlakukan keikutsertaannya pada
Konvensi Bern melalui asas konkordansi di Hindia Belanda dengan mengeluarkan
suatu Auterswet 1912 berdasarkan UU Hak Cipta Belanda pada tanggal 29 Juni 1911
(Stb Belanda No. 197). Konvensi Bern 1886 terus direvisi dan diamandir oleh
negara-negara anggota WIP0. Terakhir direvisi di Paris pada tahun 1971 dan
1989.
Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern akan menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasional di bidang hak cipta. Lima prinsip dasar dianut Konvensi Bern adalah sebagai berikut:
Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern akan menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasional di bidang hak cipta. Lima prinsip dasar dianut Konvensi Bern adalah sebagai berikut:
Pertama, prinsip perlakuan nasional
(national treatment principle), yakni ciptaan yang berasal dari salah satu
peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan pada salah
satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang
sama sebagaimana diperoleh ciptaan peserta warga negara itu sendiri.
Kedua, prinsip perlindungan hukum
langsung/otomatis (automatic protection principle). Pemberian perlindungan
hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apa pun (must
not be conditional upon compliance with any formality).
Ketiga, prinsip perlindungan independen
(independent of protection principle), yakni suatu perlindungan hukum diberikan
tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal
pencipta.
Keempat, prinsip minimal jangka waktu
hak cipta (minimum duration of copyright). Perlindungan diberikan minimal
selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
Kelima, prinsip hak-hak moral (moral
rights principle). Hak yang tergolong sebagai hak moral dimiliki pencipta
seperti keberatan mengubah, menambah atau mengurangi keaslian ciptaan yang
perlu mendapat pengaturan perlindungan-nya dalam hukum nasional negara peserta
Konvensi Bern.
Pemerintah Indonesia menjadi anggota WTO sejak tahun 1994. Keikutsertaan ini juga membawa konsekuensi hukum harus memberla-kukan semua hasil dan prinsip dasar dari Konvensi Bern.
Pemerintah Indonesia menjadi anggota WTO sejak tahun 1994. Keikutsertaan ini juga membawa konsekuensi hukum harus memberla-kukan semua hasil dan prinsip dasar dari Konvensi Bern.
Hal, ini ditindak-lanjuti dengan mensahkannya
melalui pembentukan Keppres RI No. 18 Tahun 1997 pada tanggal 7 Mei 1997 dan
segera dinotifikasikan ke WIPO berdasarkan Keppres RI No. 19 Tahun 1997 tanggal
5 Juni 1997. Berlakunya hasil kesepakatan The Berne Convention di Indonesia,
maka pemerintah harus mampu untuk melindungi ciptaan dari seluruh negara
anggota peserta dan penandatangan The Berne Convention tersebut. Selain itu,
Indonesia harus pula melindungi ciptaan bangsa asing yang ada di tanah air
melalui kesepakatan pada perjanjian bilateral yang telah diratifikasi.
Adanya perjanjian bilateral tersebut
akan memberi perlindungan hukum dan rasa aman hak cipta secara timbal balik
antara ciptaan bangsa kita dengan bangsa lain yang sama-sama bergabung dalam
WTO, terutama
dengan berlakunya pasar bebas.
dengan berlakunya pasar bebas.
Pada persetujuan TREPs, khususnya Pasal
7 menentukan konsep dasar sasaran perlindungan dan penegakan hukum (law
enforcement) terhadap HKI yang ditujukan untuk memacu penemuan baru di bidang
teknologi dan untuk memperlancar alih serta penyebaran teknologi dengan tetap
memperhatikan kepentingan produsen dan pengguna pengetahuan tentang teknologi
dan dilakukan dengan cara yang menunjang kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Perlindungan itu didasarkan pada masalah
pokok ruang lingkup berlakunya hak cipta dengan dua prinsip dasar, yakni
utilitarian-non utilitarian or junctional-non functional dichotomy and idea
expression dichotomy. Artinya, adanya dikotomi pada kegunaan-ketidakgunaan atau
berfungsi-tidak berfungsi dan munculnya gagasan dari ciptaan tersebut.
Penjabaran dari kesepakatan
internasional mengenai hak cipta yang diratifikasi oleh Indonesia terdapat pada
ketentuan UU No. 19 Tahun 2002. Pada Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002
menentukan ciptaan yang dapat dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, sastra dan seni yang meliputi hasil karya
(a)
buku, program komputer, pamplet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan
semua hasil karya tulis lain,
(b)
ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu,
(c)
alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
(d)
lagu atau musik dengan atau tanpa teks,
(e)
drama atau drama musikal, tari, koreografl, pewayangan, dan pantomim,
(f)
seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan
(g)
arsitektur,
(h)
peta,
(i)
seni batik,
(j)
fotografi,
(k)
sinematografi, dan
(1)
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
Sebaliknya, pada isi Pasal 13
menentukan pula dianggap tidak ada suatu hak cipta atas :
(a) hasil rapat terbuka lembaga-lembaga
negara,
(b)
peraturan perundang-undangan,
(c)
pidato kenegaraaan dan Pidato pejabat Pemerintah,
(d)
putusan pengadilan atau penetapan hakim, atau
(e) keputusan badan arbitrase atau keputusan
badan-badan sejenis lainnya.
Setiap ciptaan seseorang, kelompok
orang ataupun korporasi (badan hukum) dilindungi oleh undang-undang karena pada
ciptaan itu otomatis melekat hak cipta yang seyogianya harus dapat dihormati
dan dipatuhi oleh orang lain. Perlindungan hukum itu dimaksudkan agar hak
pencipta secara ekonomis dapat dinikmati dengan tenang dan aman mengingat cukup
lamanya diatur undang-undang waktu perlindungan tersebut. Masa berlaku
perlindungan hak cipta secara umum adalah selain hidup pencipta dan terus
berlangsung hingga 50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia yang dimulai
sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan,
diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah penciptanya meninggal dunia
(vide Pasal 34).
Setiap pencipta atau pemegang izin hak
cipta bebas untuk dapat menggunakan hak ciptanya, akan tetapi undang-undang
menentukan pula adanya pembatasan terhadap penggunaan hak cipta itu. Pembatasan
tersebut dimaksudkan supaya para pencipta dalam kegiatan kreatif dan
inovatifnya tidak melanggar norma-nonna atau asas kepatutan yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terutama di negara hukum seperti
Indonesia mengingat hasil ciptaan umumnya akan dijual ke pasar (dalam dan luar
negeri) untuk memperoleh keuntungan ekonomis bagi para pencipta atau pemegang
izin guna dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Oleh karena sudah ditentukan
pembatasan oleh ketentuan undang-undang, maka kebebasan penggunaan hak cipta
tidak boleh melanggar pembatasan tersebut. Apabila pembatasan tersebut
dilanggar oleh pencipta dan pemegang izin hak cipta, maka pencipta akan
memperoleh sanksi hukum.
Adapun pembatasan penggunaan hak cipta yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dapat dibagi dalam tiga hal:
Adapun pembatasan penggunaan hak cipta yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dapat dibagi dalam tiga hal:
Pertama, kesusilaan dan ketertiban
umum. Keterbatasan penggunaan hak cipta tidak boleh melanggar pada kesusilaan
dan ketertiban umun. Contoh hak cipta yang melanggar kesusilaan adalah penggunaan
hak untuk mengumumkan atau memper-banyak kalender bergambar wanita/pria
telanjang, kebebasan seks atau pomografi, sedangkan termasuk melanggar
ketertiban umum adalah memperbanyak dan menyebarkan buku yang berisi ajaran
yang membolehkan wanita bersuami lebih dari satu (poliandri).
Kedua, fungsi sosial hak cipta.
Kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh meniadakan/mengurangi fungsi sosial
dari pada hak cipta. Fungsi sosial hak cipta adalah memberi kesempatan kepada
masyarakat luas untuk memanfaatkan ciptaan itu guna kepentingan pendidikan dan
ilmu pengetahuan, bahan pemecahan masalah, pembela-an perkara di pengadilan,
bahan ceramah dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap.
Ketiga, pemberian lisensi wajib.
Kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh meniadakan kewenangan dari negara
untuk mewajibkan pencipta/pemegang hak cipta memberikan lisensi (compulsory
licensing) kepada pihak lain untuk menerjemahkan atau memperbanyak hasil
ciptaannya dengan imbalan yang wajar. Pemberian lisensi wajib didasarkan pada
pertimbangan tertentu, yakni bila negara meman-dang perlu atau menilai suatu
ciptaan sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat dan negara, misalnya
untuk tujuan pendidikan, pengajaran, ilmu pengetahuan, penelitian, pertahanan,
keamanan, dan ketertiban masyarakat yang membutuhkan pemakaian ciptaan tersebut.
Pembatasan penggunaan hak cipta adalah
sebagai upaya keseimbangan hak antara pencipta dengan kepentingan masyarakat.
Artinya, penggunaan hak cipta oleh pencipta diharapkan akan mewujudkan pula keadilan
dalam kehidupan bermasyarakat. Bentuk-bentuk Pelanggaran Hak Cipta Umumnya
pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari keuntungan finansial secara cepat
dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta.
Perbuatan para pelaku jelas melanggar fatsoen hukum yang menentukan agar setiap
orang dapat mematuhi, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain dalam
hubungan keperdataan termasuk penemuan baru sebagai ciptaan orang lain yang
diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi warga
masyarakat untuk melanggar HKI menurut Parlugutan Lubis antara lain adalah
sebagai berikut:
1)
pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan
keun-tungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;
2)
para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan
selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif
yang dilakukan oleh para penegak hukum;
3)
ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil
karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya
peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;
4)
dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut
tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan
5)
masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau
palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan
kemampuan ekonomi.
Dampak dari kegiatan tindak pidana hak
cipta tersebut telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan kehidupan
bangsa di bidang ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial budaya,
misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap
dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan
masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang (wet
delicten). Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada
negara-negara berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan
keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak)
dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan pemantauan tindak pidana
hak cipta.
Harus diakui, upaya pencegahan dan
penindakan terhadap pelanggaran hak cipta selama ini belum mampu membuat jera
para pembajak untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena upaya penanggulangannya
tidak optimal.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta
antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan dan
pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apa pun tanpa
izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau.
melanggar perjanjian.
Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenan-kan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yakni:
Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenan-kan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yakni:
(1)
merugikan pencipta/pemegang hak cipta, misalnya mem-foto kopi sebagian atau
selurulnya ciptaan orang lain kemudian dijual/belikan kepada masyarakat luas;
(2)
merugikan kepentingan negara, misalnya
mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang
pertahanan dan keamanan atau;
(3)
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan
menjual video compact disc (vcd) pomo.
Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan karya cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, tetapi yang dicetak/diedarkan di pasar adalah 4.000 eksemplar. Pembayaran royalti kepada pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2.000 eksemplar bukan 4.000 eksemplar. Ini sangat merugikan bagi pencipta.
Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan karya cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, tetapi yang dicetak/diedarkan di pasar adalah 4.000 eksemplar. Pembayaran royalti kepada pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2.000 eksemplar bukan 4.000 eksemplar. Ini sangat merugikan bagi pencipta.
Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tanggal 15 Pebruari 1984 dapat dibedakan
dua jenis, yakni :
(1)
mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri
seolah-olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah
ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut plagiat atau penjiplakan (plagiarism)
yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu dan notasi
lagu, dan
(2)
mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang
aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta dan penerbit/perekam. Perbuatan ini
disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa
buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (vcd), karena
menyangkut dengan masalah a commercial scale.
Pembajakan terhadap
karya orang lain seperti buku dan rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak
pidana hak cipta yang dilarang dalam undang-undang hak cipta. Pekerjaannya
liar, tersembunyi dan tidak diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak
hukum dan pajak. Pekerjaan tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri
dari penangkapan pihak kepolisian. Para pembajak tidak akan mungkin menunaikan
kewajiban hukum untuk membayar pajak kepada negara sebagaimana layaknya warga
negara yang baik. Pembajakan merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan
iptek di bidang grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum
(illegal) oleh mereka yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan
mudah.
Pasal 72 UU No. 19
Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik
undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni :
(1) Dengan sengaja dan tanpa hak
mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk
perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan,
memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan
dengan kebijak-sanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan
dan ketertiban umum;
(2) Dengan sengaja memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil
pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan
buku dan vcd bajakan;
(3) Dengan sengaja dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Dari ketentuan Pasal 72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi pidana. Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku utama ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak dan pencetak. Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang hak cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang.
Dari ketentuan Pasal 72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi pidana. Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku utama ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak dan pencetak. Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang hak cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang.
Kedua
golongan pelaku pelanggaran hak cipta di atas, dapat diancam dengan sanksi
pidana oleh ketentuan UU No. 19 tahun 2002. Pelanggaran dilakukan dengan
sengaja untuk niat meraih keuntungan sebesar-besanya, baik secara pribadi,
kelompok maupun badan usaha yang sangat merugikan bagi kepentingan para
pencipta. Pengaturan Perlindungan Hukum Hak Cipta
Barang-barang yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan royalti para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin.
Barang-barang yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan royalti para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin.
Daya
kreatif dan inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran
hak cipta terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan
menindak para pelakunya. Negara melalui aparat penegak hukum, baik secara
langsung maupun tidak langsung harus bertanggung jawab dengan adanya peristiwa
ini dengan berupaya keras melakukan penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak
cipta. Apabila tidak ada penegakan hukum yang konsisten terhadap para
pelanggar, maka akan sulit terwujudnya suatu perlindungan hukum terhadap hak
cipta yang baik. Masalah ini telah menjadi tuntutan masyarakat internasional
terhadap bangsa dan negara Indonesia yang dinilai masih rendah untuk menghargai
HAKI.
Pengaturan
standar minimum perlindungan hukum atas ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta dan
jangka waktu perlindungan dalam Konvensi Bern adalah sebagai berikut.
Pertama,
ciptaan yang dilindungi adalah semua ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan
dan seni dalam bentuk apa pun perwujudannya.
Kedua,
kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi, pembatasan atau pengecualian
yang tergolong sebagai hak-hak ekslusif seperti
(a) hak untuk menerjemahkan,
(b) hak mempertun-jukkan di muka umum
ciptaan drama musik dan ciptaan musik,
(c) hak mendeklamasikan di muka umum
suatu ciptaan sastra,
(d) hak penyiaran,
(e) hak membuat reproduksi dengan cara
dan bentuk perwujudan apa pun,
(f) hak menggunakan ciptaannya sebagai
bahan untuk ciptaan, dan
(g)hak membuat aransemen dan adapsi
dari suatu ciptaan.
Selain
hak-hak ekslusif di atas, Konvensi Bern juga mengatur sekumpulan hak yang
dinamakan dengan hak-hak moral (moral rights). Hak moral adalah hak pencipta
untuk mengklaim sebagai pencipta atas suatu hasil ciptaan dan hak pencipta
untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud
untuk mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaan, yang akan dapat
meragukan kehormatan dan reputasi pencipta pertama.
Hak
moral seorang pencipta menurut pendapat A. Komen dan D.WS Verkade mengandung
empat makna. Pertama, hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman
ciptaannya. Kedua, hak untuk melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu
atas ciptaannya, dan hak untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah
diumumkan kepada publik.
Ketiga, hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain. Keempat, hak untuk mencantum-kan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui setiap perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai pihak pencipta setiap waktu yang diinginkan. Hak ini mempunyai kedudukan sejajar dengan hak ekonomi yang dapat dimiliki seorang pencipta atas suatu hasil ciptaannya.
Ketiga, hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain. Keempat, hak untuk mencantum-kan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui setiap perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai pihak pencipta setiap waktu yang diinginkan. Hak ini mempunyai kedudukan sejajar dengan hak ekonomi yang dapat dimiliki seorang pencipta atas suatu hasil ciptaannya.
Perlindungan
hukum merupakan upaya yang diatur dalam undang-undang untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hak cipta oleh orang-orang yang tidak berhak. Apabila terjadi
pelanggaran, maka pelang-garan itu harus diproses secara hukum, dan bilamana
terbukti melakukan pelanggaran akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan
undang-undang hak cipta. UU No. 19 Tahun 2002 mengatur jenis-jenis perbuatan pelanggaran
dan ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun pidana. UU ini memuat sistem
deklaratif (first to use system), yaitu perlindungan hukum hanya diberikan
kepada pemegang/pemakai pertama atas hak cipta. Apabila ada pihak lain yang
mengaku sebagai pihak yang berhak atas hak cipta, maka pemegang/pemakai pertama
harus membuktikan bahwa dia sebagai pemegang pemakai pertama yang berhak atas
hasil ciptaan tersebut. Sistem deklaratif ini tidak mengharus-kan pendaftaran
hak cipta, namun pendaftaran pada pihak yang berwenang (cq Ditjen Hak Kekayaan
Intelektual Depkeh RI) merupakan bentuk perlindungan yang dapat memberikan
kepastian hukum atas suatu hak cipta.
Apakah
suatu perbuatan merupakan pelanggaran hak cipta, harus dapat dipenuhi
unsur-unsur yang penting berikut ini. Pertama, larangan undang-undang.
Perbuatan yang dilakukan oleh seorang pengguna hak cipta dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang. Kedua, izin dan persetujuan (lisensi).
Penggunaan hak cipta dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik atau pemegang
izin hak cipta. Ketiga, pembatasan undang-undang. Penggunaan hak cipta tidak
melampaui pada batas-batas ketentuan yang telah ditetapkan undang-undang.
Keempat, jangka waktu. Penggunaan hak cipta dilakukan dalam jangka waktu
perlindungan tertentu yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau berdasarkan
pernjanjian tertulis (lisensi).
Perlindungan hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem berikut. Pertama, subyek perlindungan.
Perlindungan hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem berikut. Pertama, subyek perlindungan.
Subyek
yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang hak cipta, aparat penegak
hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum. Kedua, obyek perlindungan.
Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta yang diatur dalam
undang-undang. Ketiga, pendaftaran perlindungan. Hak cipta yang dilindungi
hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula dengan adanya sertifikat
pendaftaran, kecuali apabila undang-undang mengatur lain. Keempat, jangka
waktu. Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak cipta,
yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelima,
tindakan hukum perlindungan. Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak cipta,
maka pelanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun pidana.
Setiap
pelanggaran hak cipta akan merugikan pemilik/pemegangnya dan/atau kepentingan
umum/negara. Pelaku pelanggaran hukum tersebut harus ditindak tegas dan segera
memulihkan kerugian yang diderita oleh pemilik/pemegang hak atau negara.
Penindakan
atau pemulihan tersebut diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002. Penindakan dan
pemulihan pelanggaran hak cipta melalui penegakan hukum secara,
(1)
perdata berupa gugatan
(a)
ganti kerugian,
(b)
penghentian perbuatan pelanggaran,
(c)
penyitaan barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan.
(2)
pidana berupa tuntutan
(a)
pidana penjara maksimal 7 tahun penjara, dan atau
(b)
pidana denda maksimum sebesar Rp. 5 miliar,
(c)
perampasan barang yang digunakan melakukan kejahatan untuk dimusnahkan,
(3)
administratif berupa tindakan
(a)
pembekuan/pencabutan SIUP,
(b)
pembayaran pajak/bea masuk yang tidak dilunasi,
(c)
re-ekspor barang-barang hasil pelanggaran.
Selama
ini, pelanggaran hak cipta termasuk dalam delik aduan (klachtdefict). Artinya,
penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bersama instansi terkait atau
tuntutan sanksi pidana dapat dilakukan oleh penuntut umum atas dasar pengaduan
dari plhak-pihak yang dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga
masyarakat sebagai konsumen ataupun negara sebagai penenima pajak. Delik aduan
ini adalah dalam bentuk delik aduan mutlak (absolute klachidelict), yakni
peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan.
Berlakunya
UU No. 19 Tahun 2002, pelanggaran hak cipta menjadi delik biasa yang dapat
diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Adanya perubahan ini sebagai
upaya pemerintah mengajak masyarakat untuk menghargai dan menghormati HKI
mengingat masalah pelanggaran hak cipta telah menjadi bisnis ilegal yang
merugikan para pencipta dan pemasukan pajak/devisa negara di samping masyarakat
internasional menuding Indonesia sebagai “surga” bagi para pembajak.
Aparat
penyidik dalam pelanggaran hak cipta ditentukan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981
dan peraturan perundang-undangan lain. Dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 8 Tahun
1981 tercantum dua penyidik yakni pejabat polisi negara Republik Indonesia dan
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Mereka bertugas bersama aparat
negara tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Untuk menyelidiki
apakah sudah terjadi suatu pelanggaran hak cipta, maka Pasal 71 UU No. 19 Tahun
2002 mengatur tentang penyidik yang dapat melakukan penegakan hukum. Menurut
ketentuan pasal tersebut, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
Departemen Kehakiman Republik Indonesia dapat diberikan wewenang khusus sebagai
penyidik seperti dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat 1 b UU No. 8 Tahun 1981, yakni
“pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk bertugas melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak
cipta. Mereka ini dapat bertugas sebagai pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dengan wewenang tertentu.
Penyidik
dalam Pasal 71 ayat (2) mempunyai wewenang melakukan tindakan berupa
(a) pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak cipta,
(b) pemeriksaan terhadap pihak atau
badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang hak cipta,
(c) meminta keterangan dari pihak atau
badan hukum sehubungan tindak pidana di bidang hak cipta,
(d) pemeriksaan atas pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak
cipta,
(e) pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lainnya,
(f) melakukan penyitaan bersama pihak
kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang hak cipta, dan
(g) meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang hak cipta.
pidana di bidang hak cipta.
Penyidikan
oleh PPNS dilakukan setelah ada surat perintah tugas penyidikan, yaitu untuk
PPNS pada:
(1) tingkat kantor wilayah, surat
perintah diberikan oleh Kepala Departemen Kehakiman setempat. Kewenangan tugas
PPNS tingkat kantor wilayah hanya meliputi wilayah hukum kantor bersangkutan,
dan
(2) tingkat Direktorat Hak Cipta
(nasional), surat perintah diberikan pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (HKI).
Kewenangan tugas penyidik tingkat ini meliputi
seluruh wilayah Indonesia. Pembagian tugas ini seyogianya dapat mempercepat
penanggulangan pelanggaran hak cipta mengingat era globalisasi dengan teknologi
semakin canggih, maka dunia saat ini tanpa ada tapal batas yang jelas
(borderless world). Selama ini, teknologi baru dengan mudah masuk ke Indonesia
tanpa mampu dilakukan tindakan filterisasi dengan ketat oleh pemerintah.
Pemanfaatan teknologi informasi seperti intemet menjadi salah satu medium bagi
para pelaku kejahatan untuk melakukan pelanggaran hak cipta dengan sifatnya
yang mondial, internasional dan melampaui batas atau kedaulatan suatu negara.
Cross boundary countries kini menjadi motif yang menarik para penjahat digital.
Dalam melaksanakan tugasnya, PPNS
mempunyai kewajiban dalam empat hal, yaitu:
(1) memberitahukan kepada Penuntut Umum
dan Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang dimulainya penyidikan;
(2) memberitahukan kepada Penyidik
Pejabat Polisi Negara tentang perkembangan penyidikan yang dilakukan;
(3) meminta petunjuk dan bantuan
penyidikan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan kebutuhan, dan
(4) memberitahukan kepada Penuntut Umum
dan Penyidik Pejabat Polisi Negara apabila penyidikan akan dihentikan karena
alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Keempat
kewajiban dari PPNS itu saling terkait dan terukur dalam rangka untuk
mengungkapkan suatu pelanggaran hak cipta di tanah air.
Semua kewajiban di atas bagi PPNS menjadi dasar untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran hak cipta. Akan tetapi PPNS tidak diberi kewajiban atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau penahanan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW. 07. 03 Tahun 1988.
Tujuannya adalah agar tugas PPNS tidak tumpang tindih dengan tugas penegak hukum kepolisian dalam rangka penyidikan pelanggaran hak cipta.
Penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh PPNS wajib didasar-kan pada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri di tempat terjadinya tindak pidana atau di tempat yang banyak ditemukan barang bukti pelanggaran hak cipta. Permohonan surat izin penyitaan harus diketahui oleh Kepala Kantor Departemen Kehakiman setempat dan tembusannya dikirimkan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara.
Semua kewajiban di atas bagi PPNS menjadi dasar untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran hak cipta. Akan tetapi PPNS tidak diberi kewajiban atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau penahanan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW. 07. 03 Tahun 1988.
Tujuannya adalah agar tugas PPNS tidak tumpang tindih dengan tugas penegak hukum kepolisian dalam rangka penyidikan pelanggaran hak cipta.
Penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh PPNS wajib didasar-kan pada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri di tempat terjadinya tindak pidana atau di tempat yang banyak ditemukan barang bukti pelanggaran hak cipta. Permohonan surat izin penyitaan harus diketahui oleh Kepala Kantor Departemen Kehakiman setempat dan tembusannya dikirimkan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara.
Berdasarkan
ketentuan UU No. 19 Tahun 2002, Penyidik Pejabat Polisi Negara dalam penyidikan
hak cipta lebih diutamakan atau dikedepankan pada penegakan hukum hak cipta,
sedangkan PPNS mempunyai kewenangan menyidik hanya karena lingkup tugas serta
tanggung jawabnya meliputi pada pembinaan terhadap hak cipta. Oleh karena itu,
penyampaian hasil penyidikan oleh Penyidik Pelanggaran Hak Cipta kepada Penuntut
Umum setelah memperoleh petunjuk yang diperlukan harus melalui Penyidik Pejabat
Polisi Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981.
Perlu
diingat, walaupun mempunyai kewenangan menyidik dan menyita barang bukti, PPNS
tidak boleh melakukan penangkapan dan/atau penahanan, kecuali tertangkap tangan
(caught in the act). Dalam hal ini, PPNS boleh menangkap tersangka tanpa surat
perintah selama 1 (satu) hari dan segera menyerahkannya kepada Penyidik Pejabat
Polisi Negara yang lebih berwenang. Ketentuan demikian harus ditaati penyidik
PPNS dalam pekedaannya mengusut pelanggaran hak cipta supaya tidak ada tuduhan
“pelanggaran hak asasi manusia” pada hak milik seseorang.
Pelanggaran
hak cipta tidak semata-mata menonjolkan pada hak perdata pencipta saja, juga
pada kepentingan umum dan hak hak asasi orang yang dituduh telah melakukan
pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Adanya peristiwa pelanggaran hak cipta merupakan realitas sosial yang menjadi masalah bagi hukum perdata, pidana dan administrasi. Pelanggaran hukum ini menjadi tugas aparat penegak hukum menanggulanginya bekerja sama dengan instansi terkait mengingat setiap pelanggaran hak cipta membawa kerugian yang sangat besar dalam pengembangan dan kemajuan i1mu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra dan secara ekonomis bagi para pencipta, pemegang ijin, masyarakat konsumen dan pendapatan pajak negara.
Adanya peristiwa pelanggaran hak cipta merupakan realitas sosial yang menjadi masalah bagi hukum perdata, pidana dan administrasi. Pelanggaran hukum ini menjadi tugas aparat penegak hukum menanggulanginya bekerja sama dengan instansi terkait mengingat setiap pelanggaran hak cipta membawa kerugian yang sangat besar dalam pengembangan dan kemajuan i1mu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra dan secara ekonomis bagi para pencipta, pemegang ijin, masyarakat konsumen dan pendapatan pajak negara.
Pemberian
sanksi hukum bagi para pelanggar hak cipta merupakan upaya untuk mencegah dan
mengurangi meningkatnya kasus-kasus pelanggaran atas HKI, terutama di Indonesia
masih membutuhkan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap HKI. Perbuatan
menjiplak, mengkopi, meniru ataupun meng-gelapkan hasil karya orang lain tanpa
izin atau sesuai prosedur hukum akan tetap menjadi “pekerjaan rumah” dari petugas
penegak hukum dalam melindungi hak-hak para pencipta yang diatur dalam UU Hak
Cipta. Akibat pelanggaran itu, selain merugikan kepentingan para pencipta atau
pemegang izin, juga masyarakat konsumen dan negara dalam penerimaan
pajak/devisa.
Pelanggaran
hak cipta dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi (economic crime) dan
kejahatan bisnis (business crime). Di sini amat dibutuhkan fungsionalisasi
hukum pidana, yakni upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi,
beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret yang melibatkan tiga
faktor, yaitu faktor perundang-undangan, aparat/badan penegak hukum dan
kesadaran hukum masyarakat. Fungsionalisasi hukum pidana didasarkan pada tujuan
ekonomi dan penegakan hukum, yakni untuk mengurangi seminimal mungkin biaya
sosial (social cost) yang merugikan bagi para korban akibat dari pelanggaran
hukum tersebut. Robert Cooter dan Thomas Ulen menegaskan dengan ungkapan,
criminal law should minimize the social cost of crime, which equals the sum of
the harm it causes and the costs of preventing it. Artinya, hukum pidana harus
membayar biaya sosial kejahatan minimal sama jumlahnya dari pelanggaran yang
disebabkan pelanggaran itu dan biaya pencegahannya.
Biaya
sosial yang harus dikeluarkan dalam rangka fungsionalisasi hukum atas setiap
pelanggaran hak cipta dapat berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap makna
perlindungan hukum mana kala penegakan hukum vang dilakukan oleh aparat penegak
hukum tidak mencapai sasarannya untuk mengurangi kuantitas dan kualitas
pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Biaya sosial tersebut terutama akan dirasakan oleh para pencipta, karena merasakan tidak terlindungi hak-haknya sebagai penemu atau pencipta. Hal ini akan merugikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra karena para pencipta tidak bergairah lagi untuk meningkatkan karya ciptanya.
Biaya sosial tersebut terutama akan dirasakan oleh para pencipta, karena merasakan tidak terlindungi hak-haknya sebagai penemu atau pencipta. Hal ini akan merugikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra karena para pencipta tidak bergairah lagi untuk meningkatkan karya ciptanya.
Sumber :
http://yuliron.blogspot.com/2011/03/uu-hak-cipta-ketentuan-umum-lingkup-hak.html